TUBAN | RealitaHukum.my.id - Dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satpas Polres Tuban semakin menguat setelah rangkaian temuan lapangan dan kesaksian warga menunjukkan pola yang konsisten, terstruktur, dan melibatkan oknum internal. Penelusuran tim investigasi mengarah pada dua nama yang berulang kali disebut warga: Imam, yang diduga merupakan pegawai Tata Usaha (TU) Polres Tuban, dan Budi S, seorang anggota polisi yang disebut warga kerap menjadi penghubung langsung dalam proses jalur cepat.
Laporan ini mencuat setelah pengakuan AYP (26), warga Desa Sidomukti, Kecamatan Kenduruan. Ia menuturkan harus membayar Rp2,3 juta untuk mendapatkan SIM BI—angka yang jauh melampaui tarif resmi. Untuk memenuhi permintaan tersebut, AYP mengaku menggadaikan motor pribadinya, sebuah keputusan yang ia ambil dengan berat hati demi kebutuhan pekerjaan.
Rangkaian prosesnya pun janggal. AYP diarahkan untuk menghubungi Imam, yang menurut sumber internal memang sejak lama disebut-sebut terlibat dalam alur pengurusan SIM tidak resmi. “Lewat Imam saja, dijamin cepat,” ujar seorang perantara kepada AYP. Instruksi berikutnya, AYP diminta menunggu di terminal. Tidak lama, seorang pria berseragam polisi yang oleh warga dikenal sebagai Budi S menghampirinya. AYP kemudian dibawa masuk ke Satpas, diberikan formulir, melakukan foto, dan hanya dalam hitungan menit, SIM BI itu langsung jadi tanpa ujian teori maupun praktik.
Penelusuran lanjutan ke Desa Sidomukti justru membuka lapisan-lapisan yang lebih dalam. Warga di desa itu telah lama mengenal praktik penitipan SIM melalui Imam. “Kalau di sini ya nitipnya ke Pak Imam. Sudah biasa,” kata P (42). HS, warga lainnya, menyebut tarif SIM C bisa mencapai Rp1 juta bila lewat jalur yang sama. Testimoni ini tidak berdiri sendiri; pola serupa muncul dari beberapa titik, menunjukkan bahwa praktik tersebut bukan insiden terpisah, melainkan indikasi mekanisme yang sudah berjalan bertahun-tahun.
Bila dugaan ini benar, struktur pungli di Satpas Tuban tidak berdiri pada perantara luar, melainkan justru menumpu pada oknum internal yang memahami alur birokrasi. Imam diduga berperan sebagai jembatan administratif, sementara Budi S diduga menjadi eksekutor lapangan yang mengantar pemohon langsung masuk ke proses foto tanpa melewati tahapan kompetensi pengemudi.
Ketiadaan ujian teori dan praktik dalam kasus AYP menguatkan dugaan pelanggaran prosedur serius. Mekanisme SIM yang seharusnya menguji kelayakan pengendara justru dipangkas menjadi “layanan instan berbayar”, membuka risiko kecelakaan dan merusak integritas keseluruhan sistem pelayanan publik kepolisian.
Hingga laporan ini diterbitkan, pihak Satpas Polres Tuban belum memberikan tanggapan resmi atas temuan ini. Namun tekanan publik mulai meningkat. Sejumlah pemerhati hukum dan antikorupsi menilai kasus ini tidak bisa dipandang sebagai pelanggaran kecil. “Jika benar melibatkan oknum internal, maka kita bicara soal penyalahgunaan kewenangan. Ini bukan pungli biasa,” ujar salah satu aktivis antikorupsi yang dihubungi tim.
Desakan agar Kapolres Tuban turun langsung melakukan pemeriksaan menyeluruh kini semakin tajam. Tidak hanya untuk memastikan kebenaran dugaan keterlibatan Imam dan Budi S, tetapi juga untuk membongkar apakah ada mata rantai yang lebih besar di balik penerbitan SIM instan ini.
Publik menunggu langkah tegas. Dan di tengah temuan yang terus mengarah pada pola serupa, pertanyaan utamanya kini bukan lagi “apakah pungli terjadi?”, melainkan “seberapa dalam akar persoalannya
